Senin, 26 Oktober 2015

Kisah Para Ulama Aceh Kharismatik

  1. Syekh Nuruddin Al-Raniri
  2. Syekh Abdurrauf Singkil,
  3. Teungku Chik Pante Kulu
  4. H.Hasan Kruengkale
  5. Syeikh H. Muhammad Waly Al-Khalidy,
  6. Abuya Prof..DR.Tgk.H.Muhibbudin Waly,
  7. Abuya Djamaluddin Waly,
  8. Abu Ibrahim Woyla,
  9. Abu Tumin Blang Bladeh
  10. Abu Keumala,
  11. Tgk H Ibrahim Bardan (Abu Panton)
Pengaruhnya sangat penting di kerajaan Aceh. Hingga di Aceh ada semacam kata-kata yang berbunyi “Adat bak peutus Merehom, Humkom bak Syiekh di Kuala” maksudnya, “Adat di bawah kekuasaan almarhum (raja), sementara syariat (Islam) di bawah Syeikh Kuala. Ayat ini mejelaskan betapa besarnya kuasa, peranan dan pengaruh Abdurrauf dalam pemerintahan ketika itu yang hampir sama besar dengan kuasa sultan. Ketika gabungan antara umara dan ulama inilah juga Aceh mencapai kegemilangan. Sementara itu Hamka yang juga ahli filosofi dan ulama moden Indonesia, di dalam tulisannya pernah menurunkan sebaris kata-kata yang dinukilkan oleh Fakih Shaghir seorang ulama terkenal di zaman Perang Paderi, yaitu nenek kepada Sheikh Taher Jalaluddin az-Azhari (meninggal dunia pada tahun 1956 di Kuala Kangsar), yang berbunyi: “Maka adalah saya Fakih Shaghir menerima cerita daripada saya punya bapa, sebabnya saya mengambil pegangan ilmu hakikat, kerana cerita ini adalah ia setengah daripada adat dan tertib waruk orang yang mengambil fatwa juga adanya. Yakni adalah seorang aulia Allah dan khutub lagi kasyaf lagi mempunyai keramat iaitu, di tanah Aceh iaitu Tuan Syeikh Abdurrauf.”
Syeikh Abdurauf juga sangat tidak sepakat dengan paham wahdatul wujud. Dalam bukunya yang berjudul Bayan Tajalli, Abdurrauf menyatakan bahwa betapapun asyiknya seorang hamba dengan Tuhan, Khalik dan makhluk tetap mempunyai arti sendiri. Banyak karya yang dihasilkan olehnya. Ada 21 kitab yang karya tulis telah dihasilkan yang terdiri dari 1 kitab tafsir, 2 kitab hadis, 3 kitab fiqih dan sisanya kitab tasawuf. Syeikh Abdurauf menulis dalam bahasa Arab dan Melayu. Kitab tafsirnya yang berjudul Turjuman Al Mustafid diakui sebagai kitab tafsir pertama yang dihasilkan di Indonesia dengan bahasa Melayu. Mir’at at Tulab fi Tahsil Ma’rifat Ahkam asy Syar’iyyah lil Malik al Wahhab merupakan salah satu kitabnya di bidang ilmu fiqih. Di dalamnya memuat berbagai persoalan fikih Madzhab Syafiie. Kitab ini juga menjadi panduan para kadi di kerajaan Aceh.
Setelah belajar al-Qur’an dan ilmu-ilmu agama Islam dalam bahasa Jawi (Melayu), dia melanjutkan pelajarannya pada Dayah Tiro yang dipimpin oleh Teungku Haji Chik Muhammad Amin Dayah Cut, seorang tokoh ulama Tiro yang baru pulang dari menunaikan ibadah haji diMekah, dan sangat besar pengaruhnya di Aceh. Setelah belajar beberapa tahun di Dayah Tiro sehingga mahir bahasa Arab dan menamatkan beberapa macam kitab ilmu pengetahuan, maka dengan izin gurunya Teungku Haji Chik Muhammad Amin, dia yang telah bergelar Teungku di Rangkang (asisten dosen) melanjutkan studinya ke Mekah sambil menunaikan rukun Islam kelima ibadah haji. Di Mekah dia memperdalam ilmu agama Islam dan ilmu-ilmu lainnya, seperti sejarah, logika, falsafah, sastra dan sebagainya. Di samping belajar, ia juga mengadakan hubungan dengan pemimpin-pemimpin Islam yang datang dari berbagai penjuru dunia.
Kebangkitan Dunia Islam yang dikumandangkan oleh gerakan Wahabi di bawah pimpinan ulama besar Muhammad bin Abdul Wahhab dan gerakan pembaharuan yang dicanangkan oleh Jamaluddin al-Afghani, telah meninggalkan pengaruh yang sangat mendalam dalam jiwa Muhammad Pante Kulu yang sudah menanjak dewasa. Sebagai seorang yang berjiwa seni, beliau sangat gemar membaca buku-buku syair Arab, terutama karya penyair perang di zaman rasul, seperti Hassan bin Tsabit, Abdullah bin Malik dan Ka’ab bin Zubair. Syair-syair mereka itu membimbing jiwa pemuda Muhammad, sehingga akhirnya dia menjadi penyair perang terbesar dalam sejarah dan namanya diabadikan sebagai penyair perang. Di samping membaca kitab syair (diwaanusy-syi’r), dia juga sangat gemar mempelajari sejarah pahlawan-pahlawan Islam yang kenamaan, seperti Khalid bin Walid, Umar bin Khaththab, Hamzah, Usamah bin Zaid bin Haritsah, Tariq bin Ziyad dan lain-lainnya. Hal ini akan memberi arah kepada Hikayat Prang Sabi yang akan dikarangnya nanti. Setelah empat tahun bermukim di Mekah, beliau telah menjadi ulama besar yang berhak memakai gelaran Syaykh di pangkal namanya, sehingga menjadi Teungku Chik (Guru Besar).
Ketika dalam pengasingan tersebut, beliau belajar pengetahuan dasar agama langsung dari kedua orangtuanya sambil berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lain di daerah pengungsian. Dan setelah mempunyai pengetahuan dasar tentang agama Islam yang memadai, bahasa Arab, sejarah Islam dan lain-lain, pada tahun 1906 M, Tgk H.Hasan Kruengkalee yang telah menjadi remaja berangkat ke Yan, Keudah – Malaysia untuk memperdalam ilmu pengetahuan yang telah beliau pelajari sebelumnya. Beliau dikirim kesana oleh ayahnya untuk melanjutkan pendidikannya di Dayah Yan yang pada waktu itu dipimpin oleh Tgk.H.Muhammad Arsyad, seorang ulama besar yang berasal dari Kerajaan Aceh Darussalam. Tgk.H.Muhammad Arsyad adalah teman pengajian ayahnya dulu sewaktu di Lamnyong. Selain itu, keberangkatan beliau ke Keudah juga atas dorongan Teuku Raja Keumala dan Tgk Syaikh Ibrahim Lambhuk. Disana beliau memperdalam ilmu pengetahuan selama beberapa tahun.
Dayah Yan di Keudah sudah sejak lama menjadi pusat pendidikan Islam di Semenanjung tanah Melayu. Para sultan Kerajaan Aceh Darusssalam mengirim ulama-ulama besar kesana untuk membangun dayah sebagai lembaga pendidikan utama untuk daerah-daerah Tanah Seberang. Setelah menamatkan studinya di Dayah Yan, Tgk H.Hasan Kruengkalee yang telah mempunyai pengetahuan agama dan bahasa arab yang cukup, atas persetujuan gurunya pada tahun 1910 berangkat ke tanah suci dalam rangka menunaikan Ibadah H. serta untuk melanjutkan pendidikan yang lebih tinggi pada pusat pendidikan Islam di Masjidil Haram Makkah. Disana beliau belajar selama lima tahun, dan yang menjadi gurunya merupakan ulama-ulama besar yang menjadi masyaikh (para guru besar) dalam Masjidil Haram dan sangat terkenal di kota Mekkah. Diantara guru-guru beliau tersebut adalah Syaikh Said Al-Yamani Umar bin Fadil, Syaikh Khalifah, Syaikh Said Abi Bakar Ad-Dimyaty dan Syaikh Yusuf An-Nabhany dan sebagainya.
Setelah menempuh pendidikan sekitar enam tahun di Mekkah, Tgk H.Hasan Kruengkalee pulang ke tanah air. Sekembali beliau tersebut pada tahun 1916 beliau langsung mengambil alih pimpinan Dayah Kruengkalee yang sejak peperangan dengan Belanda tidak terurus lagi. Dengan semangat baru yang dihasilkan dari pendidikan selama bertahun-tahun di Mekkah dan didorong oleh jiwa mudanya Tgk.H.M.Hasan Kruengkalee membangun kembali Dayah tersebut. Dalam waktu singkat, Dayah Kruengkalee telah berubah menjadi pusat pendidikan agama Islam terbesar di Aceh sejajar dengan nama-nama besar lainnya seperti; Dayah Tanoh Abee, Dayah Lambirah, Dayah Rumpet, Dayah Jeureula, Dayah Indrapuri, Dayah Pante Geulima, Dayah Tiro dan Dayah Samalanga,(Shabri A, dkk, Biografi Ulama-Ulama Aceh Abad XX, (Banda Aceh: Dinas Pendidikan Prop.NAD, 2007), hal. 6).
Dalam perkembangan kemudian, Tgk H.Hasan Kruengkalee melalui Dayah yang dikelolanya telah berhasil mencetak banyak kader-kader da’i, pendidik, ulama dan pemimpin umat yang sangat berjasa bagi rakyat Aceh, baik sebagai pembimbing mereka dengan nilai-nilai agama, maupun sebagai pimpinan masyarakat atau sebagai komando dalam jihad fisabilillah melawan agressor Belanda ketika itu. Sebagai lembaga pendidikan Islam, dayah Kruengkalee ini pada dasarnya lebih banyak berperan dibandingkan dengan lembaga pendidikan formal lainnya seperti sekolah yang didirikan oleh pemerintah Belanda pada waktu itu. Sekolah pada waktu itu tidak sanggup mengemban tugas untuk menampung semua lapisan masyarakat, karena ketentuan yang digariskan penjajah Belanda yang membatasi kesempatan bersekolah bagi masyarakat luas atas dasar kepentingan penjajah Belanda.
Menurut berbagai catatan sejarah, sebagian besar ulama-ulama besar generasi tua di Aceh saat ini tercatat pernah menimba ilmu kepada beliau. Mereka tersebar di seantaro Aceh menjadi mercusuar dalam lapangan khazanah keilmuan Islam. Diantara ulama-ulama dari murid-murid Tgk H. Hasan Krueng Kalee, yang cukup terkenal di daerahnya masih masing antara lain dapat disebutkan: Tgk Ahmad Pante, ulama dan imam masjid Baiturrahman Banda Aceh, Tgk Hasan Keubok, ulama dan Qadhi XXVI mukim di Aceh Besar, Tgk M. Saleh Lambhouk, ulama dan imam masjid Raya Baiturrahman Banda Aceh, Tgk Abdul Jalil Bayu, ulama dan pemimpin dayah Al-Huda Aceh Utara, Tgk Sulaiaman Lhoksukon, ulama dan pendiri dayah Lhoksukon, Aceh utara, Tgk M. Yusuf Peureulak, ulama dan ketua majlis ulama Aceh Timur, Tgk Mahmud Simpang Ulim, ulama dan pendiri dayah Simpang Ulim, Aceh Timur, Tgk H. Muda Waly Labuhan H., ulama dan pendiri dayah Darussalam, Labuhan Haji Aceh Selatan, Tgk Syeh Mud Blang Pidie, ulama dan pendiri dayah Blang Pidie Aceh Selatan, Syeh Shihabuddin, ulama dan pendiri dayah Darussalam Medan, Sumatera Utara, Kolonel Nurdin, bekas Bupati Aceh Timur, yaitu anak angkat beliau sendiri, Tgk Ishaq Lambaro Kaphee, ulama dan pendiri dayah Ulee Titie(Fauziah, 1988). Murid-murid beliau tersebut pada umumnya mengikuti jejak gurunya, menjadi ulama yang membuka dayah di tempat mereka masing-masing hampir ke seluruh pelosok nanggroe Aceh.
Selain itu, disamping memimpin Dayah Kruengkalee dan usahanya mencetak ulama Aceh pewaris para Nabi, beliau juga termasuk salah seorang putra Aceh yang ikut aktif dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia, beliau juga pernah menjadi anggota konstituante Republik Indonesia dari partai Islam Perti. Tgk H.Hasan Kruengkalee juga pernah mengeluarkan fatwa tentang seruan jihad fi sabilillah untuk melawan Belanda pada tanggal 15 Oktober 1945, dalam rangka mempertahankan Negara Republik Indonesia yang ditangani oleh beberapa ulama Aceh lainnya, diantaranya oleh Tgk H.Hasan Krueng Kalee, Daud Beureueh, Tgk Ja’far Lamjabat dan Tgk H.Ahmad Hasballah Indrapuri, keempat ulama besar Aceh tersebut mengeluarkan fatwa bahwa berperang mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia adalah perang sabil dan kalau mati hukumnya mati syahid. (Prof. A. Hasjmy, Para Pejuang Kemerdekaan yang Mendukung Pancasila dan Memusuhi Komunisme, hal. 448).
Tgk H.Hasan Kruengkalee juga sangat kokoh dalam memegang prinsip yang diajarkan melalui ayat-ayat Al-Qur’an dan Hadis Nabi Muhammad Saw untuk membina kader pendidikan, ulama dan pemimpin Islam yang bertugas melaksankan dakwah Islmiyah dengan hikmah( kebijaksaan), dan pelajaran yang baik serta berbantah dengan cara yang paling baik. Pada tahun 2007, senin 7 Mai, bertepatan dengan 19 Rabiul Akhir 1438 H, sebuah forum tingkat tinggi ulama Aceh menggelar pertemuan kedua di Mesjid Raya Baiturrahman; pada pertemuan yang menghadirkan ratusan ulama Aceh ini menyimpulkan bahwa ada empat ulama Aceh yang telah sampai pada tingkatma’rifatullah. Keempat ulama itu, masing-masing Syaikh Abdurrauf As-Singkili, Hamzah Fansuri, Tgk H. Muhammad Hasan Kruengkalee dan Tgk Syaikh H.Muhammad Waly Al-Khalidy atau yang lebih dikenal dengan sebutan Tgk H Muda Waly. Hadir dalam pertemuan tersebut diantaranya adalah: Tgk Jamaluddin Waly, Tgk Natsir Waly, Abu Panton(Abu Ibrahim Panton), Kadis Syari’at Islam Prof Al Yasa’ Abu Bakar dan seratusan ulama Aceh lainnya. Pada pertemuan ini, Prof Syahrizal Abbas dari IAIN Ar-Raniry Banda Aceh bertindak sebagai pemandu acara.
Dengan beberapa catatan diatas, maka Tgk H.Hasan Kruengkalee dapat di katagorikan sebagai ulama besar di Aceh sepanjang masa, karena beliau sejak usia muda sudah merintis pendidikan Islam di Aceh dengan memimpin sebuah lembaga pendidikan islam terbesar dan termashur di Aceh hingga beliau berpulang kerahmatullah. Disamping posisi beliau sebagai seorang ulama besar di Aceh, saat itu beliau juga dikenal sebagai ulama di Mekkah dengan gelar Syaikh Hasan Al-Falaqy(berdasarkan pengakuan murid-murid beliau yang masih hidup). Beliau tidak hanya menguasai ilmu agama, akan tetapi beliau juga terampil dengan khazanah keilmuan yang lain seperti ilmu falak, sejarah Islam dan sebagainya. Selama di Mekkah, beliau juga mempelajari ilmu tabib(kedokteran), ilmu handasah(arsitektur). Menurut Prof A. Hasjmy, Tgk.H.Hasan Kruengkalee sangat eksis mengadakan pengajian, sebagai juru dakwah, pemberantas bid’ah dan khurafat dan sebagainya. Itulah sepintas sosok beliau yang pada tahun lalu Majlis Pendidikan Daerah(MPD) Aceh memberikan beliau gelar sebagai tokoh pendidikan Aceh.
Abuya Muhibbuddin, demikian ia akrab disapa, adalah putra Syekh Muhammad Waly, guru Tarekat Naqsyabandiyah Waliyah di Tanah Rencong. Syekh Muhammad Waly adalah ulama besar yang berasal dari Minangkabau. Dari ayahandanya, yang di Ranah Minang lebih dikenal dengan julukan Syekh Mudo Waly, mengalir darah ulama besar. Paman Syekh Mudo Waly, misalnya, adalah Datuk Pelumat, seorang waliullah yang termasyhur di Minangkabau. Sebagaimana kedudukan pamannya, Syekh Mudo Waly juga mewarisi karisma dan karamahnya. Konon, ia pernah memindahkan anaknya dari Minangkabau ke Aceh dalam sekejap. Syekh Mudo Waly adalah sahabat Syekh Yasin Al-Fadany (asal Padang) saat mereka berguru kepada Sayid Ali Al-Maliky, kakek Sayid Muhammad bin Alawy bin Ali Al-Makky Al-Maliky Al-Hasany, di Mekah. Karena persahabatan itu pula, beberapa tahun lalu Al-Maliky mengijazahkan seluruh tarekat yang dimilikinya kepada Abuya.Diceritakan, ketika menunaikan ibadah haji, Abuya sowan kepada tokoh Suni yang baru saja wafat pertengahan Ramadan lalu. Ketika itu Sayid Maliky bertanya, siapakah gerangan tamunya tersebut. Abuya lalu menjelaskan, ia adalah putra Syekh Mudo Waly, murid Sayid Ali Al-Maliky.
Mereka termasyhur sebagai min jumlatil awlia (termasuk wali-wali Allah), yaitu Syekh Abdulghani Al-Kampary, yang kebanyakan murid-muridnya terdiri dari para ulama; dan Syekh Abdul Wahhab Rokan (dari Rokan), yang murid-muridnya adalah orang-orang awam. Belakangan Abuya Muhibbuddin juga mendapat ijazah irsyad (sebagai guru mursyid) Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah dari ulama karismatik K.H. Shohibul Wafa’ Tajul ‘Arifin, alias Abah Anom, pengasuh Pondok Pesantren Suryalaya, Tasikmalaya; dan Tarekat Naqsyabandiyah Haqqaniyah dari Syekh Muhammad Nadzim Al-Haqqany. Silaturahmi dan selalu belajar kepada para ulama besar memang kebiasaannya yang sudah mendarah daging, bahkan hingga kini. Selalu teringat wasiat ayahandanya, “Jika engkau bertemu dengan orang alim, janganlah pernah mendebat. Cukup dengarkan nasihatnya, bertanya seperlunya, minta doa dan ijazahnya, lalu cium tangannya.”
Ada beberapa buku tentang tasawuf dan pengantar hukum Islam yang sedang ditulisnya, sambil menyempurnakan buku ensiklopedi tarekat yang diberinya judul Capita Selecta Tarekat Shufiyah. Waktu senggangnya juga dimanfaatkan untuk “meramu” tiga kitab yang diharapkannya akan menjadi pegangan para murid dan umat Islam pada umumnya, yaitu Tafsir Waly (Tafsir Al-Quran), Fathul Waly (Komentar atas Kitab Jauharatut Tauhid), dan Nahjatun Nadiyah ila Martabatis Shufiyah (sebuah kitab tentang ilmu tasawuf). Dan ternyata ia pun mewarisi darah para pujangga Minang. Hal itu, misalnya, terbukti dari kemahirannya menulis syair. Belum lama ini ia mengijazahkan Syair Tawasul Tarekat yang digubahnya dalam dua bahasa, Arab dan Melayu, kepada murid-murid tarekatnya. Syair yang cukup panjang ini menceritakan proses perjalanan suluknya, diselingi doa tawasul kepada para pendiri beberapa tarekat besar dan guru-guru yang dimuliakannya.
Pendidikan : 1944 – 1953 SD s/d SLA di Darussalam Labuhanhaji Tapaktuan, Aceh Selatan 1954 – 1959 Perguruan Tinggi Islam Bustanul Muhaqqiqin Darussalam Labuhanhaji Aceh Selatan 1964 Persamaan Ijazah Perguruan Tinggi Islam Bustanul Muhaqqiqin Darussalam Labuhanhaji Aceh Selatan dengan Magister Syari’at Islam, Spesialisasi Ushul Fiqh Al-Islami (The Roots Theorical Bases of Islamic Law Section), al-Azhar University, Faculty of Islamic Statute & Law, Cairo, Egypt. 1970 Dokter (Ph.D) Syariah Islam, Bidang Ushul Fiqh Al-Islami (Spesialisasi The Roots-The Orical-of Islamic Law Section), Al-Azhar University. 1978-1979 Lemhannas (Lembaga Pertahanan Indonesia) KRA XI, Jakarta. 1979 Penataran Pemuka Agama seluruh Indonesia Angkatan ke-II, Jakarta. 1980 Penataran Calon Penatar P4 (Manggala P4 Nasional ) Istana Bogor. 1984 Penataran Kewaspadaan Nasional (Khusus Manggala P4 Nasional), Jakarta.
Kegiatan Akademik : 1963-1964 Dosen (status Guru Besar) Perguruan Tinggi Islam Bustanul Muhaqqiqin Perguruan Tinggi Islam Darussalam Labunhanhaji Aceh Selatan. 1970-1976 Dosen IAIN Falkutas Syariah Syarif Hidayatu ‘lLah, Jakarta. 1971-1974 Dosen Perguruan Tinggi Ilmu Al-Quran (PTIQ), Jakarta 1988-1993 Professor Ilmu Hukum Islam, Institut al-Quran (IIQ) Jakarta.
Pengalaman Kerja : 1963-1964 Direktur Perguruan Tinggi Islam Bustanul Muhaqqiqin Darussalam Labuhanhaji Aceh Selatan. 1973-1975 Wakil Dekan Bidang Akedamis, Fakultas Syari’ah IAIN Syarif Hidayatu’lLah, Jakarta. 1979-1982 Pimpinan Majlis Dakwah Islamiyah (MDI) Indonesia, Jakarta 1982-1993 Ketua Umum Rabithahatul Ulamail Muslimin al-Sunniyyin (Ikatan Ulama Islam Ahli al-Sunnah wa al-Jama’ah) Indonesia, Jakarta. 1983-1988 Anggota Dewan Pertimbangan Agung Republik Indonesia (DPA- RI) 1992 Pensyarah, Universiti Islam Antarabangsa, Kuala Lumpur, Malaysia
Karya Ilmiah : Al-Ijtihad fi al-Fiqh al-Islami (Ijtihad dalam Hukum Islam), tahun 1970. Thesis Ph.D. dari Falkutas Syari’ah dan Qanun, Universitas al-Azhar. Hakikat Hikmah Tauhid dan Tasawwuf (4 jilid), 1972-83. Ulama Menurut Islam (Mahiyat al-Ulama fi al-Islam – Naskah Seminar PB N. U. 1976). Asuransi dalam Pandangan Syari’at Islam (Al-Ta’min fi al-Syari’ati al-Islamiyah-Naskah Seminar PB N. U. 1975). Taraweh dan Witir serta Ibadat-ibadat yang Bertalian dengannya menurut Sunnah Rasul Dan Sunnah Sahabat, dan Pengalaman Para Ulama Islam Ahli al-Sunnah wa al-Jama’ah (1985) Dari Manakah Datangnya Istilah Ahli al-Sunnah wa al-Jama’ah (1985).
Apalagi ulama ulama Aceh zaman dahulu seperti syeikh Nuruddin al-Raniri,Syeikh Abdul Rauf al-fansuri al-singkili [Syiahkuala],Ssyeikh Hamzah Fansuri,Syekh Syamsuddin Sumatrani dan lain lain.Semuanya bermazhab Syafi`I dan antara mereka tidak terjadi pertentangaan dalam syari“at dan fiqh Islam kecuali hamya perbedaan pendapat dalam masalah tauhid yang pelikdan sangat mendalam ,yaitu masalah Wahdah al-Wujud,juga masalah hukum Islam yang berkaitan dengan politik,seperti masalah wanita menjadi raja. Karena itulah maka semua masalah masalah kecil di atas sangat dikuasai oleh Syekh Muda Waly dalil dalil hukum dan alasan alasannya ,al Qur’an dan hadist ,dan juga dari kitab kitab kuning. Karena itulah ,maka terkenallah beliau di kota padang dan mulai dikenal pula oleh seorang ulama besar di kota padang itu,yaitu syeikh Haji Khatib Ali,ayahandanya Prof.Drs.H. Amura.Syeikh Khatib Ali ulama besar ahli al-sunnah wa al-jama’ah dipadang .Murid daripada Syeikh Ahmad Khatib di Mekkah Al- Mukarramah.beliu mendapat ijazah ilmu agama dari Syeikh Ahmad Khatib dan mendapat pula ijazah Tariqat Naqsyabandiyah daripada Syeikh Ustman Fauzi Jabal Qubais Mekkah al-mukarramah.Yang menjadikan beliu terkenal di padang karena kegigihannya mempertahankan `aqidah ahli al-sunnah wa al-jama`ah dan mazhab syafi`i, di samping pula beliu adalah menantu seorang ulama besar dalam ilmu syari`at dan tariqat,yaitu Syeikh sa`ad Mungka. Syeikh sa`ad Mungka .
Syekh Khatib Ali sangat tertarik kepada Syekh muda Waly sehingga beliau menjodohkan Syekh Muda Waly dengan seorang family beliau yaitu Hajjah Rasimah,yang akhirnya melahirkan Syekh prof.Muhibbuddin Waly.Sejak itulah kemasyhuran Syekh Muda Wali semakin meningkat dan terus ditarik oleh ulama-ulama besar lainnya dalam kelompok para ulama kaum tua,tetapi beliau secara tidak langsung juga mengambil hal-hal hal yang baik dari ulama-ulama lainnya, seperti orang tuanya Buya Hamka, Haji rasul. Kemudian Syekh Muda waly juga berkenalan dengan Syekh Muhammad Jamil Jaho .Maka beliau mengikuti pengajian yang diberikan oleh Ulama besar Padang tersebut.Hubungan beliau dengan Syekh Muda Waliy pada mulanya hanya sekadar guru dan murid.Syekh Jamil Jaho adalah seorang Ulama Minangkabau,murid Syekh Ahmad Khatib.Beliau diakui kealimannya oleh ulama lainnya terutama dalam ilmu bahasa arab.
Di Pesantren jaho itulah Syekh Muhammad Jamil Jaho mengumpulkan murid muridnya yang pintar untuk mencoba pengetahuan Syekh Muda Waly pada lahiriyahnya mereka seperti mengaji pada Syekh Muda Waly tapi pada hakikatnya adalah untuk menguji dan mencoba Syekh Muda Waly dengan berbagai ilmu alat..Rupanya semua debatan tersebut dapat dijawab oleh Syekh Muda Waly.Dari situlah,Syekh Muda Waly semakin terkenal dikalangan para ulama Minangkabau .Akhirnya Syekh Muda Waly dinikahkan dengan putri Syekh Muhammada Jamil Jaho yaitu dengan seorang putrinya yang juga alim,Hajjah Rabi`ah yang akhirnya melahirkan Syekh H.Mawardi Waly.Akhirnya syekh Muda Waly menempati rumah pemberian paman istri beliau yang pertama,Hajjah Rasimah .Rumah itu terdiri dari dari dua tingkat.Pada bagian bawahnya di gunakan sebagai madrasah tempat majlis ta`lim Apabila datang hari hari besar islam ummat Islam di Kota Padang beramai ramai datang kerumah tersebut.Para Ulama Kota Padang khususnya sering berdatangan ke rumah tersebut karena bila tak ada undangan Syekh Muda Waly sibuk mengajar dan berdiskusi dengan para ulama lainnya Apalagi dalam rumah itu juga tinggal seorang ulama besar lain,Syekh Hasan Basri,menantu dari Syekh Khatib `Ali Padang dan suami dari Hajjah Aminah, ibunda dari istri beliau Hajjah Rasimah .
Pada waktu Syekh Muda Waly berada di Madinah pada setiap saat shalat beliau selalu menziarahi kuburan yang mulia Rasulullah Saw.Pada waktu itu siapa saja yang menziarahi kuburan Nabi secara dekat, akan dipukul oleh polisi dengan tongkatnya.tetapi pada saat Syekh Muda Waly sedang bermunujat dekat makam Rasullualah,beliau didekati oleh polisi,ingin memukul beliau,maka Syekh Muda Waly langsung berbicara dengan polisi tersebut dengan bahasa arab yang fasih sehingga polisi tersebut tertarik dengan beliau dan membiarkan beliau duduk lama didekat maqam Nabi SAW.Di Madinah Syekh Muda Waly berdiskusi dengan para ulama ulama dari negeri lain terutama dari Mesir.Beliau tertarik dengan dengan perkembangan ilmu pengetahuan di negeri Mesir,sehingga beliau sudah bertekat menuju ke Mesir,tetapi beliau lupa bahwa pada saat itu beliau membawa istri beliau Hajjah Rabi`ah.Istri beliau keberatan ditinggalkan untuk pulang ke Indonesia.akhirnya beliau urung berangkat ke Mesir.
Menurut sebagian kisah menyebutkan bahwa selama dalam khalwatnya dengan riyadah dan munajat berupa mengamalkan zikir zikir sebagaimana atas petunjuk Syekh Abdul Ghany beliau sempat mengalami lumpuh sehingga tidak bisa berjanji untuk mandi dan berwudhuk. Setelah selesai berkhalwat beliau merasakan kelegaan batin yang luar biasa jauh melebihi kebahagiannya ketika mendapat ilmu yang bersifat lahiriyah selama ini.Beliau mendapat ijazah mursyid dari Syekh Abdul Ghani sebagai pertanda bahwa beliau sudah diperbolehkan untuk mengembangkan thariqah Naqsyabandi yang beliau terima..Setelah mendapat ijazah thariqah beliau kembali kekota Padang dan mendirikan sebuah Pesantren yang bernama Bustanul Muhaqqiqin di Lubuk Begalung, Padang.Sebuah pesantren yang terdiri dari beberapa surau dan asrama. banyak murid yang mengambil ilmu di pesantren tersebut bahkan juga santri – santri dari Aceh..
Tetapi pada saat jepang masuk kePadang, Syekh Muda Waly mengambil keputusan pulang ke Aceh karena di Aceh beliau merasa lebih tenang dan nyaman dalam mengamalkan dan mengembangkan ilmu yang telah beliau miliki.Sehingga akhirnya Pesantren yang beliau bangun di Padang lumpuh. Pulang ke Aceh Setelah Syekh Muda Waly berjuang menuntut ilmu pengetahuan melalui pendidikan yang secara lahiriahnya seperti tidak teratur,tetapi pada hakikatnya bagi Allah S.W.T.,perjalanan pendidikan beliau selama ini membawa beliau naik ke tingkat martabat ulama dan hamba Allah yang shalih. Maka dengan hasil perjalanan pandidikannya serta pengalaman-pengalaman yang beliau dapati selama ini, rasanya bagi beliau sudah cukup dijadikan pokok utama untuk mengembangkan agama Allah ini dengan pendidikan pesantren di tempat beliau dilahirkan, di blang poroh Darussalam Labuhan Haji, Aceh Selatan. Meskipun pada waktu itu kata Darusssalam itu belum ada, dan adanya nama ini setelah beliau mendirikan pesantrten di desa beliau sendiri. Lebih kurang pada akhir tahun 1939, beliau kembali ke Aceh Selatan melalui parahu layar dari Padang ke Aceh di kecamatan Labuhan haji.Beliau disambut dengan meriah oleh ahli famili, para teman dan masyarakat, Labuhan Haji. Setelah beberapa hari beliau berada di desanya, maka beliau bertekad membagun sebuah pasantren.
Khususnya dalam pengembangan tariqat Naqsyabanditah dan dijadikan tempat khalwat atau suluk 40 hari selama ramadhan dengan 10 hari sebelumnya, 10 pada awal zulhijjah, 10 hari pada bulan Rabiul awal Kedua : Darul `Arifin ;dilokai ini bertempat tinggal guru guru ynag sebagian besar sudah berumah tangga.Lokasinya agak berdekatan dengan pantai Laut Samudra Hindia Ketiga : Darul Muta`allimin ;Ditempat ini bertempat tinggal para santri pilihan diantaranya anak syekh Abdul ghani Al kampari,guru tasauf Syekh muda Waly . Keempat : Darus salikin ;dilokasi ini banyak asrama asrama tempat tinggal para pelajar penuntut ilmu yang juga digunakan sebagai tempat berkhalwat. Kelima : Darul zahidin ;lokasi yang paling ujung dari lokasi pesantren Darussalam ini .Kalau bukan karena tempat lainnya sudah penuh,maka jarang seklai santri yang mau tinggal di lokasi ini apalagi tempat ini pada mulanya merupakan tambak udang dan ikan . Keenam : Darul Ma`la ;lakasi ini merupakan lokasi nomr satu karena tanhnya tinggi dan udaranyapun bagus dan terletak dipinggir jalan . Semua lokasi ini dinamakan oleh syekh Muda waly dengan nama demikian sebagai tafaul kepada Allah semoga semua santri yang belajar disitu menjadai hamba hamba Allah yang senatiasa menuntut ilmu (Al Muta`allimin),hamba hamba yang zahid, mengutamakan akhirat dari pada dunia (Az-Zahidin),hamba hamba yang shalih mendapat tempat terhormat baik disisi Allah maupun dalam pandangan masyarakat .
Tak lama kemudian beliau menikah dengan seorang wanita dari desa pauh,Labuhan Haji.Kemudian beliau mendirikan sebuah pesantren lain di ibu kpta kecamatan.Pesantren ini merupakan sebuah pesantren khusus,pelajarnya juga tidak banyak .para pelajar di pesantren ini secara langsung berhadapan dengan kaum orang orang yang berfaham wahabi sewhingga mendatangkan persaingan pengembangan ilmu pengetahuan agama melalui perdebatanm yang diadakan para pelajar membahas masalah masalah khilafiyah dengan dalil dalilnya menurut pendirian ulama ahlussunnah waljamaah .Dipesantren inilah diadakan pengajian yang dikuti oleh semua lapisan masyarakat bahkan juga dikuti oleh kalanganMuhammadiyah dan golongan Salik Buta sehingga menjadikan majlis ini majlis yang dipenuhi dengan pertanyaan dan debatan yang ditujukan kepada Syekh Muda Waly.namun semuanya dapat di jawab oleh Syekh Muda Waly dengan jawaban ilmiah yang memuaskan.
… Abu Ibrahim Woyla , adalah seorang ulama pengembara. Ulama ini dalam masyarakat Aceh lebih dikenal dengan Abu Ibrahim Keramat. Belum pernah terjadi dalam sejarah di Woyla (Aceh Barat) bila seseorang meninggal ribuan orang datang melayat (takziah) kecuali pada waktu wafatnya Abu Ibrahim Woyla. Selama hampir 30 hari meninggalnya Abu Ibrahim Woyla masyarakat Aceh berduyun-duyun datang melayat ke kampung Pasi Aceh, Kecamatan Woyla Induk, Aceh Barat sebagai tempat peristirahatan terakhir Abu Ibrahim Woyla. Selama 30 hari itu ribuan orang setiap hari tak kunjung henti datang menyampaikan duka cita  mendalam atas wafatnya Abu Ibrahim Woyla, sehingga pihak keluarga menyediakan 400 kotak air aqua gelas dan tiga ekor lembu setiap hari dari sumbangan mantan Gubernur Aceh Irwandi Yusuf untuk menjamu tamu yang datang silih berganti ke tempat wafatnya Abu Ibrahim Woyla. Begitulah pengaruh ke-ulama-an Abu Ibrahim Woyla dalam pandangan masyarakat Aceh, terutama di wilayah Aceh Barat dan Aceh Selatan.
Menurut keterangan, Syeikh Muda Waly hanya sempat belajar pada Syeikh Mahmud sekitar 4 tahun, kemudian pindah ke Aceh Besar dan belajar pada Abu Haji Hasan Krueng Kale selama 2 tahun. setelah itu Syeikh Muda Waly pindah ke Padang dan belajar pada Syeikh Jamil Jaho Padang Panjang. Dua tahun di Padang Syeikh Muda Waly melanjutkan pendidikan ke Mekkah atas kiriman Syeikh Jamil Jaho, setelah 2 tahun di Mekkah kemudian Syeikh Muda Waly kembali ke Blang Pidie dan melanjutkan mendirikan Pesantren Tradisional di Labuhan Haji Aceh Selatan. Saat itulah Abu Ibrahim Woyla sudah mengetahui bahwa Syeikh Muda Waly telah kembali dari Mekkah dan mendirikan Pesantren, maka Abu Ibrahim Woyla kembali belajar pada Syeikh Muda Waly untuk memperdalam ilmu tareqat naqsyabandiyah. Namun sebelum itu Abu Ibrahim Woyla pernah belajar pada Abu Calang (Syeikh Muhammad Arsyad) dan Teungku Bilyatin (Suak) bersama rekan seangkatannya yaitu (alm) Abu Adnan Bakongan.
Itulah keajaiban-keajaiban yang melekat pada sosook Abu Ibrahim Woyla, yang oleh sebagian ulama di Aceh menilai bahwa Abu Ibrahim Woyla adalah seorang ulama yang sudah mencapai tingkat Waliyullah (Wali Allah). hal itu diakui Teungku Nasruddin, memang banyak sekali laporan masyarakat yang diterima keluarga menceritakan seputar keajaiban kehidupan Abu Ibrahim Woyla. Hal ini terbukti semasa hidupnya Abu Ibrahim Woyla selalu mendatangi tempat-tempat dimana umat selalu dalam kesusahan, kegelisahan dan musibah beliau selalu ada di tengah-tengah masyarakat itu. Namun orang sulit memahami maksud dan tujuan Abu Ibrahim Woyla untuk apa beliau mendatangi tempat-tempat seperti itu, karena kedatangannya tidak membawa pesan atau amanah apapun bagi masyarakat yang didatanginya. Abu Ibrahim Woyla hanya datang berdoa di tempat-tempat yang ia datangi, tutur Teungku Nasruddin.
Keajaiban lain yang membuat masyarakat tak habis pikir dan bertanya-tanya adalah soal kecepatan beliau melakukan perjalanan kaki yang ternyata lebih cepat dari kendaraan bermesin. Memang kebiasaan Abu Ibrahim Woyla kalau pergi kemana-mana selalu berjalan kaki tanpa menggunakan sendal. Bagi orang yang belum mengenalnya bisa beranggapan bahwa Abu Ibrahim Woyla sosok yang tidak normal. Karena disamping penampilannya yang tidak rapi, mulutnya terus komat kamit mengucapkan zikir sambil jalan. Tgk Muhammad Kurdi Syam menceritakan suatu ketika Abu Ibrahim Woyla sedang jalan kaki di Teunom menuju Meulaboh (perjalanan yang memakan waktu 1 atau 2 jam dengan kendaraan bermotor), yang anehnya Abu Ibrahim Woyla ternyata duluan sampai di Meulaboh, padahal yang punya mobil tadi tahu bahwa tidak ada kendaraan lain yang mendahului mobilnya, kejadian ini bukan sekali dua kali terjadi, malah bagi masyarakat di pantai barat yang sudah mengganggap itulah kelebihan sosok ulama keramat Abu Ibrahim Woyla yang luar biasa tidak sanggup dinalar oleh pikiran orang biasa.
karena tak heran kalau Abu Ibrahim Woyla berada seperti di pasar, misalnya semua pedagang di pasar itu berharap agar Abu Ibrahim Woyla dapat singgah di toko mereka, karena mereka ingin mendapatkan berkah Allah melalui perantaran Abu Ibrahim Woyla. Namun tidak segampang itu karena Abu Ibrahim Woyla punya pilihan sendiri untuk mampir di suatu tempat. Seperti yang diceritakan Tgk Muhammad Kurdi Syam, suatu waktu Abu Ibrahim Woyla sedang berada di Lamno Aceh Jaya lalu bertemu dengan seseorang yang bernama Samsul Bahri yang sedang bekerja di Abah Awe, saat itu kebetulan Abu Ibrahim Woyla membawa dua potong lemang. Ketika mampir di situ Abu Ibrahim Woyla meminta sedikit air, setelah air itu diberikan Samsul lalu Abu Ibrahim Woyla memberikan dua potong lemang tersebut kepada Samsul tapi Samsul menolaknya karena menurut Samsul bahwa lemang tersebut adalah sedekah orang yang diberikan kepada Abu Ibrahim Woyla. karena tidak mau diterima Samsul, lemang itu dibuang Abu Ibrahim Woyla yang tak jauh dari tempat duduknya, spontan saja Samsul tercengang dengan tindakan Abu yang membuang lemang begitu saja, karena merasa bersalah lalu Samsul ingin mengambil lemang yang sudah dibuang tersebut, namun sayang, ketika mau diambil lemang itu hilang secara tiba-tiba.
Dalam kejadian lain, Tgk Nasruddin menceritakan suatu ketika (sebelum Tgk Nasruddin menjadi menantu Abu Ibrahim Woyla), tiba-tiba shubuh pagi Abu Ibrahim Woyla datang ke almamaternya ke Pesantren Syeikh Mahmud, kaki Abu Ibrahim Woyla kelihatan sedikit pincang sebelah kalau beliau berjalan. Kedatangan Abu Ibrahim Woyla disambut Tgk Nasruddin dan teman-teman sepengajian lainnya. Lalu Abu meminta sedikit nasi untuk sarapan pagi, “nasinya ada, tapi tidak ada lauk pauk apa-apa Abu” kata Tgk Nasruddin, “Nggak apa-apa, saya makan pakai telur saja, coba lihat dulu di dapur mungkin masih ada satu telur tersisi” jawab Abu Ibrahim Woyla, lalu Tgk Nasruddin menuju ke dapur, ternyata di tempat yang biasa ia simpan telur terdapat satu butir telur, padahal seingatnya tidak ada sisa telur lagi karena sudah habis dimakan.
Kejadian serupa juga dialami oleh keluarga dekat Abu Ibrahim Woyla sendiri, suatu hari Abu mengunjungi salah seorang saudaranya untuk meminta sedikit nasi dengan lauk sambel udang belimbing, lalu tuan rumah itu mengatakan pada isterinya untuk menyiapkan nasi dengan sambel udang belimbing untuk Abu Ibrahim Woyla, tapi isterinya memberi tahu bahwa pohon belimbingnya tidak lagi berbuah, “baru kemarin sore saya lihat pohon belimbingnya lagi tidak ada buahnya” kata sang isteri pada suuaminya. Tapi suaminya terus mendesak isterinya “coba kamu lihat dulu, kadang ada barang dua tiga buah sudah cukup untuk makan Abu” katanya.lalu isterinya pergi ke pohon belakang rumah, ternyata belimbing itu memang didapatkan tak lebih dari tiga buah di pohon yang kemarin sore dilihatnya.
Demikian pula ketika hendak melangsungkan pernikahan anak pertama Abu Ibrahim Woyla, yaitu Salmiah, msyarakat di kampung melihat sepertinya Abu Ibrahim Woyla tidak pedulu terhadap acara pernikahan anaknya. padahal acara pernikahan itu akan berlangsung beberapa hari lagi, tapi Abu Ibrahim Woyla tidak menyiapkan apa-apa untuk menghadapi acara pernikahan anaknya itu, bahkan uang pun tidak beliau kasih pada keluarga untuk kebutuhan acara tersebut. Namun ajaibnya pada hari “H” (hari pernikahan berlangsung) ternyata acara pernikahan anaknya berlangsung lebih besar dari pesta-pesta pernikahan orang lain yang jauh-jauh hari telah mempersiapkan segala sesuatunya.
Begitulah sebagian dari perjalanan riwayat hidup seorang ulama dan aulia Abu Ibrahim Woyla yang sulit dicari penggantinya di Aceh sekarang ini. Beliau berpulang ke Rahmatullah pada hari sabtu pukul 16.00 WIB tanggal 18 Juli 2009 di rumah anaknya di Pasi Aceh Kecamatan Woyla Induk, Kabupaten Aceh Barat dalam usia 90 tahun. Peneliti LKAS Banda Aceh pernah berziarah ke makan beliau pada bulan April 2010, melihat makan yang dijaga oleh anak tertuanya, banyak sekali diziarahi oleh masyarakat. Namun pihak keluarga sangat hati-hati dan berpesan pada penziarah agar makan Abu Ibrahim Woyla tidak dijadikan tempat pemujaan (yang membawaki kepada syirik).