Kisah Para Ulama Aceh Kharismatik
- Syekh Nuruddin Al-Raniri
- Syekh Abdurrauf Singkil,
- Teungku Chik Pante Kulu
- H.Hasan Kruengkale
- Syeikh H. Muhammad Waly Al-Khalidy,
- Abuya Prof..DR.Tgk.H.Muhibbudin Waly,
- Abuya Djamaluddin Waly,
- Abu Ibrahim Woyla,
- Abu Tumin Blang Bladeh
- Abu Keumala,
- Tgk H Ibrahim Bardan (Abu Panton)
Pengaruhnya sangat penting di kerajaan Aceh. Hingga di Aceh ada semacam kata-kata yang berbunyi “Adat bak peutus Merehom, Humkom bak Syiekh di Kuala” maksudnya, “Adat di bawah kekuasaan almarhum (raja), sementara syariat (Islam) di bawah Syeikh Kuala. Ayat ini mejelaskan betapa besarnya kuasa, peranan dan pengaruh Abdurrauf dalam pemerintahan ketika itu yang hampir sama besar dengan kuasa sultan. Ketika gabungan antara umara dan ulama inilah juga Aceh mencapai kegemilangan. Sementara itu Hamka yang juga ahli filosofi dan ulama moden Indonesia, di dalam tulisannya pernah menurunkan sebaris kata-kata yang dinukilkan oleh Fakih Shaghir seorang ulama terkenal di zaman Perang Paderi, yaitu nenek kepada Sheikh Taher Jalaluddin az-Azhari (meninggal dunia pada tahun 1956 di Kuala Kangsar), yang berbunyi: “Maka adalah saya Fakih Shaghir menerima cerita daripada saya punya bapa, sebabnya saya mengambil pegangan ilmu hakikat, kerana cerita ini adalah ia setengah daripada adat dan tertib waruk orang yang mengambil fatwa juga adanya. Yakni adalah seorang aulia Allah dan khutub lagi kasyaf lagi mempunyai keramat iaitu, di tanah Aceh iaitu Tuan Syeikh Abdurrauf.”
Setelah belajar al-Qur’an dan ilmu-ilmu agama Islam dalam bahasa Jawi (Melayu), dia melanjutkan pelajarannya pada Dayah Tiro yang dipimpin oleh Teungku Haji Chik Muhammad Amin Dayah Cut, seorang tokoh ulama Tiro yang baru pulang dari menunaikan ibadah haji diMekah, dan sangat besar pengaruhnya di Aceh. Setelah belajar beberapa tahun di Dayah Tiro sehingga mahir bahasa Arab dan menamatkan beberapa macam kitab ilmu pengetahuan, maka dengan izin gurunya Teungku Haji Chik Muhammad Amin, dia yang telah bergelar Teungku di Rangkang (asisten dosen) melanjutkan studinya ke Mekah sambil menunaikan rukun Islam kelima ibadah haji. Di Mekah dia memperdalam ilmu agama Islam dan ilmu-ilmu lainnya, seperti sejarah, logika, falsafah, sastra dan sebagainya. Di samping belajar, ia juga mengadakan hubungan dengan pemimpin-pemimpin Islam yang datang dari berbagai penjuru dunia.
Kebangkitan Dunia Islam yang dikumandangkan oleh gerakan Wahabi di bawah pimpinan ulama besar Muhammad bin Abdul Wahhab dan gerakan pembaharuan yang dicanangkan oleh Jamaluddin al-Afghani, telah meninggalkan pengaruh yang sangat mendalam dalam jiwa Muhammad Pante Kulu yang sudah menanjak dewasa. Sebagai seorang yang berjiwa seni, beliau sangat gemar membaca buku-buku syair Arab, terutama karya penyair perang di zaman rasul, seperti Hassan bin Tsabit, Abdullah bin Malik dan Ka’ab bin Zubair. Syair-syair mereka itu membimbing jiwa pemuda Muhammad, sehingga akhirnya dia menjadi penyair perang terbesar dalam sejarah dan namanya diabadikan sebagai penyair perang. Di samping membaca kitab syair (diwaanusy-syi’r), dia juga sangat gemar mempelajari sejarah pahlawan-pahlawan Islam yang kenamaan, seperti Khalid bin Walid, Umar bin Khaththab, Hamzah, Usamah bin Zaid bin Haritsah, Tariq bin Ziyad dan lain-lainnya. Hal ini akan memberi arah kepada Hikayat Prang Sabi yang akan dikarangnya nanti. Setelah empat tahun bermukim di Mekah, beliau telah menjadi ulama besar yang berhak memakai gelaran Syaykh di pangkal namanya, sehingga menjadi Teungku Chik (Guru Besar).
Teungku Chik Muhammad Pante Kulu mempunyai dua orang isteri, yang pertama berasal dari kampung Titeue, Kecamatan Kemalawati, Kabupaten Pidie, sementara isteri yang kedua Tgk. Nyak Aisyah berasal dari Kampung Grot, Indra Puri, Aceh Besar. Dari isteri yang pertama, beliau memperoleh seorang putera yang kemudian ikut serta bertempur sebagai mujahid di Aceh Besar. Setelah menyertai Teungku Chik di Tiro dalam berbagai medan perang dengan senjata Hikayat Prang Sabi-nya, maka Teungku Chik Muhammad Pante Kulu berpulang ke rahmatullah di Lam Leu’ot, Kecamatan Indrapuri, Kabupaten Aceh Besar dan dimakamkan di sana.
Setelah menempuh pendidikan sekitar enam tahun di Mekkah, Tgk H.Hasan Kruengkalee pulang ke tanah air. Sekembali beliau tersebut pada tahun 1916 beliau langsung mengambil alih pimpinan Dayah Kruengkalee yang sejak peperangan dengan Belanda tidak terurus lagi. Dengan semangat baru yang dihasilkan dari pendidikan selama bertahun-tahun di Mekkah dan didorong oleh jiwa mudanya Tgk.H.M.Hasan Kruengkalee membangun kembali Dayah tersebut. Dalam waktu singkat, Dayah Kruengkalee telah berubah menjadi pusat pendidikan agama Islam terbesar di Aceh sejajar dengan nama-nama besar lainnya seperti; Dayah Tanoh Abee, Dayah Lambirah, Dayah Rumpet, Dayah Jeureula, Dayah Indrapuri, Dayah Pante Geulima, Dayah Tiro dan Dayah Samalanga,(Shabri A, dkk, Biografi Ulama-Ulama Aceh Abad XX, (Banda Aceh: Dinas Pendidikan Prop.NAD, 2007), hal. 6).
Menurut berbagai catatan sejarah, sebagian besar ulama-ulama besar generasi tua di Aceh saat ini tercatat pernah menimba ilmu kepada beliau. Mereka tersebar di seantaro Aceh menjadi mercusuar dalam lapangan khazanah keilmuan Islam. Diantara ulama-ulama dari murid-murid Tgk H. Hasan Krueng Kalee, yang cukup terkenal di daerahnya masih masing antara lain dapat disebutkan: Tgk Ahmad Pante, ulama dan imam masjid Baiturrahman Banda Aceh, Tgk Hasan Keubok, ulama dan Qadhi XXVI mukim di Aceh Besar, Tgk M. Saleh Lambhouk, ulama dan imam masjid Raya Baiturrahman Banda Aceh, Tgk Abdul Jalil Bayu, ulama dan pemimpin dayah Al-Huda Aceh Utara, Tgk Sulaiaman Lhoksukon, ulama dan pendiri dayah Lhoksukon, Aceh utara, Tgk M. Yusuf Peureulak, ulama dan ketua majlis ulama Aceh Timur, Tgk Mahmud Simpang Ulim, ulama dan pendiri dayah Simpang Ulim, Aceh Timur, Tgk H. Muda Waly Labuhan H., ulama dan pendiri dayah Darussalam, Labuhan Haji Aceh Selatan, Tgk Syeh Mud Blang Pidie, ulama dan pendiri dayah Blang Pidie Aceh Selatan, Syeh Shihabuddin, ulama dan pendiri dayah Darussalam Medan, Sumatera Utara, Kolonel Nurdin, bekas Bupati Aceh Timur, yaitu anak angkat beliau sendiri, Tgk Ishaq Lambaro Kaphee, ulama dan pendiri dayah Ulee Titie(Fauziah, 1988). Murid-murid beliau tersebut pada umumnya mengikuti jejak gurunya, menjadi ulama yang membuka dayah di tempat mereka masing-masing hampir ke seluruh pelosok nanggroe Aceh.
Selain itu, disamping memimpin Dayah Kruengkalee dan usahanya mencetak ulama Aceh pewaris para Nabi, beliau juga termasuk salah seorang putra Aceh yang ikut aktif dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia, beliau juga pernah menjadi anggota konstituante Republik Indonesia dari partai Islam Perti. Tgk H.Hasan Kruengkalee juga pernah mengeluarkan fatwa tentang seruan jihad fi sabilillah untuk melawan Belanda pada tanggal 15 Oktober 1945, dalam rangka mempertahankan Negara Republik Indonesia yang ditangani oleh beberapa ulama Aceh lainnya, diantaranya oleh Tgk H.Hasan Krueng Kalee, Daud Beureueh, Tgk Ja’far Lamjabat dan Tgk H.Ahmad Hasballah Indrapuri, keempat ulama besar Aceh tersebut mengeluarkan fatwa bahwa berperang mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia adalah perang sabil dan kalau mati hukumnya mati syahid. (Prof. A. Hasjmy, Para Pejuang Kemerdekaan yang Mendukung Pancasila dan Memusuhi Komunisme, hal. 448).
Himbauan jihad diatas, telah menggerakkan masyarakat tampil ke medan perjuangan di tanah Aceh untuk merebut kemerdekaan dan mempertahankannya. Dengan adanya fatwa tersebut diatas, rakyat Aceh telah berjuang selama tahun-tahun dengan revolusi fisik, sehinnga tanah Aceh terbebas dari penjajahan Belanda. Mereka umumnya tergabung dibawah berbagai wadah organisasi perjuangan, misalnya Pusa, pemuda Pusa, kasyafatul Islam, Muhammaddiyah, Pemuda Muhammaddiyah, Perti, Permindo (Pergerakan Angkatan Muda Islam Indonesia), maupun organisasi-organisasi Islam lainnya. Para pemuda yang telah dibina iman dan semangat jihadnya dalam madrasah-madrasah dan dayah bersama-sama rakyat Aceh lainnya ikut berjuang mempertahankan proklamasi kemerdekaan.
Tgk H.Hasan Kruengkalee juga sangat kokoh dalam memegang prinsip yang diajarkan melalui ayat-ayat Al-Qur’an dan Hadis Nabi Muhammad Saw untuk membina kader pendidikan, ulama dan pemimpin Islam yang bertugas melaksankan dakwah Islmiyah dengan hikmah( kebijaksaan), dan pelajaran yang baik serta berbantah dengan cara yang paling baik. Pada tahun 2007, senin 7 Mai, bertepatan dengan 19 Rabiul Akhir 1438 H, sebuah forum tingkat tinggi ulama Aceh menggelar pertemuan kedua di Mesjid Raya Baiturrahman; pada pertemuan yang menghadirkan ratusan ulama Aceh ini menyimpulkan bahwa ada empat ulama Aceh yang telah sampai pada tingkatma’rifatullah. Keempat ulama itu, masing-masing Syaikh Abdurrauf As-Singkili, Hamzah Fansuri, Tgk H. Muhammad Hasan Kruengkalee dan Tgk Syaikh H.Muhammad Waly Al-Khalidy atau yang lebih dikenal dengan sebutan Tgk H Muda Waly. Hadir dalam pertemuan tersebut diantaranya adalah: Tgk Jamaluddin Waly, Tgk Natsir Waly, Abu Panton(Abu Ibrahim Panton), Kadis Syari’at Islam Prof Al Yasa’ Abu Bakar dan seratusan ulama Aceh lainnya. Pada pertemuan ini, Prof Syahrizal Abbas dari IAIN Ar-Raniry Banda Aceh bertindak sebagai pemandu acara.
Dengan beberapa catatan diatas, maka Tgk H.Hasan Kruengkalee dapat di katagorikan sebagai ulama besar di Aceh sepanjang masa, karena beliau sejak usia muda sudah merintis pendidikan Islam di Aceh dengan memimpin sebuah lembaga pendidikan islam terbesar dan termashur di Aceh hingga beliau berpulang kerahmatullah. Disamping posisi beliau sebagai seorang ulama besar di Aceh, saat itu beliau juga dikenal sebagai ulama di Mekkah dengan gelar Syaikh Hasan Al-Falaqy(berdasarkan pengakuan murid-murid beliau yang masih hidup). Beliau tidak hanya menguasai ilmu agama, akan tetapi beliau juga terampil dengan khazanah keilmuan yang lain seperti ilmu falak, sejarah Islam dan sebagainya. Selama di Mekkah, beliau juga mempelajari ilmu tabib(kedokteran), ilmu handasah(arsitektur). Menurut Prof A. Hasjmy, Tgk.H.Hasan Kruengkalee sangat eksis mengadakan pengajian, sebagai juru dakwah, pemberantas bid’ah dan khurafat dan sebagainya. Itulah sepintas sosok beliau yang pada tahun lalu Majlis Pendidikan Daerah(MPD) Aceh memberikan beliau gelar sebagai tokoh pendidikan Aceh.
Abuya Muhibbuddin, demikian ia akrab disapa, adalah putra Syekh Muhammad Waly, guru Tarekat Naqsyabandiyah Waliyah di Tanah Rencong. Syekh Muhammad Waly adalah ulama besar yang berasal dari Minangkabau. Dari ayahandanya, yang di Ranah Minang lebih dikenal dengan julukan Syekh Mudo Waly, mengalir darah ulama besar. Paman Syekh Mudo Waly, misalnya, adalah Datuk Pelumat, seorang waliullah yang termasyhur di Minangkabau. Sebagaimana kedudukan pamannya, Syekh Mudo Waly juga mewarisi karisma dan karamahnya. Konon, ia pernah memindahkan anaknya dari Minangkabau ke Aceh dalam sekejap. Syekh Mudo Waly adalah sahabat Syekh Yasin Al-Fadany (asal Padang) saat mereka berguru kepada Sayid Ali Al-Maliky, kakek Sayid Muhammad bin Alawy bin Ali Al-Makky Al-Maliky Al-Hasany, di Mekah. Karena persahabatan itu pula, beberapa tahun lalu Al-Maliky mengijazahkan seluruh tarekat yang dimilikinya kepada Abuya.Diceritakan, ketika menunaikan ibadah haji, Abuya sowan kepada tokoh Suni yang baru saja wafat pertengahan Ramadan lalu. Ketika itu Sayid Maliky bertanya, siapakah gerangan tamunya tersebut. Abuya lalu menjelaskan, ia adalah putra Syekh Mudo Waly, murid Sayid Ali Al-Maliky.
Mereka termasyhur sebagai min jumlatil awlia (termasuk wali-wali Allah), yaitu Syekh Abdulghani Al-Kampary, yang kebanyakan murid-muridnya terdiri dari para ulama; dan Syekh Abdul Wahhab Rokan (dari Rokan), yang murid-muridnya adalah orang-orang awam. Belakangan Abuya Muhibbuddin juga mendapat ijazah irsyad (sebagai guru mursyid) Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah dari ulama karismatik K.H. Shohibul Wafa’ Tajul ‘Arifin, alias Abah Anom, pengasuh Pondok Pesantren Suryalaya, Tasikmalaya; dan Tarekat Naqsyabandiyah Haqqaniyah dari Syekh Muhammad Nadzim Al-Haqqany. Silaturahmi dan selalu belajar kepada para ulama besar memang kebiasaannya yang sudah mendarah daging, bahkan hingga kini. Selalu teringat wasiat ayahandanya, “Jika engkau bertemu dengan orang alim, janganlah pernah mendebat. Cukup dengarkan nasihatnya, bertanya seperlunya, minta doa dan ijazahnya, lalu cium tangannya.”
Pendidikan : 1944 – 1953 SD s/d SLA di Darussalam Labuhanhaji Tapaktuan, Aceh Selatan 1954 – 1959 Perguruan Tinggi Islam Bustanul Muhaqqiqin Darussalam Labuhanhaji Aceh Selatan 1964 Persamaan Ijazah Perguruan Tinggi Islam Bustanul Muhaqqiqin Darussalam Labuhanhaji Aceh Selatan dengan Magister Syari’at Islam, Spesialisasi Ushul Fiqh Al-Islami (The Roots Theorical Bases of Islamic Law Section), al-Azhar University, Faculty of Islamic Statute & Law, Cairo, Egypt. 1970 Dokter (Ph.D) Syariah Islam, Bidang Ushul Fiqh Al-Islami (Spesialisasi The Roots-The Orical-of Islamic Law Section), Al-Azhar University. 1978-1979 Lemhannas (Lembaga Pertahanan Indonesia) KRA XI, Jakarta. 1979 Penataran Pemuka Agama seluruh Indonesia Angkatan ke-II, Jakarta. 1980 Penataran Calon Penatar P4 (Manggala P4 Nasional ) Istana Bogor. 1984 Penataran Kewaspadaan Nasional (Khusus Manggala P4 Nasional), Jakarta.
Kegiatan Akademik : 1963-1964 Dosen (status Guru Besar) Perguruan Tinggi Islam Bustanul Muhaqqiqin Perguruan Tinggi Islam Darussalam Labunhanhaji Aceh Selatan. 1970-1976 Dosen IAIN Falkutas Syariah Syarif Hidayatu ‘lLah, Jakarta. 1971-1974 Dosen Perguruan Tinggi Ilmu Al-Quran (PTIQ), Jakarta 1988-1993 Professor Ilmu Hukum Islam, Institut al-Quran (IIQ) Jakarta.
Pengalaman Kerja : 1963-1964 Direktur Perguruan Tinggi Islam Bustanul Muhaqqiqin Darussalam Labuhanhaji Aceh Selatan. 1973-1975 Wakil Dekan Bidang Akedamis, Fakultas Syari’ah IAIN Syarif Hidayatu’lLah, Jakarta. 1979-1982 Pimpinan Majlis Dakwah Islamiyah (MDI) Indonesia, Jakarta 1982-1993 Ketua Umum Rabithahatul Ulamail Muslimin al-Sunniyyin (Ikatan Ulama Islam Ahli al-Sunnah wa al-Jama’ah) Indonesia, Jakarta. 1983-1988 Anggota Dewan Pertimbangan Agung Republik Indonesia (DPA- RI) 1992 Pensyarah, Universiti Islam Antarabangsa, Kuala Lumpur, Malaysia
Karya Ilmiah : Al-Ijtihad fi al-Fiqh al-Islami (Ijtihad dalam Hukum Islam), tahun 1970. Thesis Ph.D. dari Falkutas Syari’ah dan Qanun, Universitas al-Azhar. Hakikat Hikmah Tauhid dan Tasawwuf (4 jilid), 1972-83. Ulama Menurut Islam (Mahiyat al-Ulama fi al-Islam – Naskah Seminar PB N. U. 1976). Asuransi dalam Pandangan Syari’at Islam (Al-Ta’min fi al-Syari’ati al-Islamiyah-Naskah Seminar PB N. U. 1975). Taraweh dan Witir serta Ibadat-ibadat yang Bertalian dengannya menurut Sunnah Rasul Dan Sunnah Sahabat, dan Pengalaman Para Ulama Islam Ahli al-Sunnah wa al-Jama’ah (1985) Dari Manakah Datangnya Istilah Ahli al-Sunnah wa al-Jama’ah (1985).
Disana diajarkan ilmu matematika,kimia,biologi,ekonomi,ilmu falak,sejarah Indonesia,bahasa inggris.bahasa belanda,ilmu khat dan pelajaran olahraga. 3. Di normal Islam beliau harus menyesuaikan diri dengan peraturan peraturan di lembaga tersebut,Di situ para pelajar diwajibkan memakai celana ,memakai dasi,ikut olah raga disamping juga mengikuti pelajaran umum diatas.
Apalagi ulama ulama Aceh zaman dahulu seperti syeikh Nuruddin al-Raniri,Syeikh Abdul Rauf al-fansuri al-singkili [Syiahkuala],Ssyeikh Hamzah Fansuri,Syekh Syamsuddin Sumatrani dan lain lain.Semuanya bermazhab Syafi`I dan antara mereka tidak terjadi pertentangaan dalam syari“at dan fiqh Islam kecuali hamya perbedaan pendapat dalam masalah tauhid yang pelikdan sangat mendalam ,yaitu masalah Wahdah al-Wujud,juga masalah hukum Islam yang berkaitan dengan politik,seperti masalah wanita menjadi raja. Karena itulah maka semua masalah masalah kecil di atas sangat dikuasai oleh Syekh Muda Waly dalil dalil hukum dan alasan alasannya ,al Qur’an dan hadist ,dan juga dari kitab kitab kuning. Karena itulah ,maka terkenallah beliau di kota padang dan mulai dikenal pula oleh seorang ulama besar di kota padang itu,yaitu syeikh Haji Khatib Ali,ayahandanya Prof.Drs.H. Amura.Syeikh Khatib Ali ulama besar ahli al-sunnah wa al-jama’ah dipadang .Murid daripada Syeikh Ahmad Khatib di Mekkah Al- Mukarramah.beliu mendapat ijazah ilmu agama dari Syeikh Ahmad Khatib dan mendapat pula ijazah Tariqat Naqsyabandiyah daripada Syeikh Ustman Fauzi Jabal Qubais Mekkah al-mukarramah.Yang menjadikan beliu terkenal di padang karena kegigihannya mempertahankan `aqidah ahli al-sunnah wa al-jama`ah dan mazhab syafi`i, di samping pula beliu adalah menantu seorang ulama besar dalam ilmu syari`at dan tariqat,yaitu Syeikh sa`ad Mungka. Syeikh sa`ad Mungka .
Tetapi pada saat jepang masuk kePadang, Syekh Muda Waly mengambil keputusan pulang ke Aceh karena di Aceh beliau merasa lebih tenang dan nyaman dalam mengamalkan dan mengembangkan ilmu yang telah beliau miliki.Sehingga akhirnya Pesantren yang beliau bangun di Padang lumpuh. Pulang ke Aceh Setelah Syekh Muda Waly berjuang menuntut ilmu pengetahuan melalui pendidikan yang secara lahiriahnya seperti tidak teratur,tetapi pada hakikatnya bagi Allah S.W.T.,perjalanan pendidikan beliau selama ini membawa beliau naik ke tingkat martabat ulama dan hamba Allah yang shalih. Maka dengan hasil perjalanan pandidikannya serta pengalaman-pengalaman yang beliau dapati selama ini, rasanya bagi beliau sudah cukup dijadikan pokok utama untuk mengembangkan agama Allah ini dengan pendidikan pesantren di tempat beliau dilahirkan, di blang poroh Darussalam Labuhan Haji, Aceh Selatan. Meskipun pada waktu itu kata Darusssalam itu belum ada, dan adanya nama ini setelah beliau mendirikan pesantrten di desa beliau sendiri. Lebih kurang pada akhir tahun 1939, beliau kembali ke Aceh Selatan melalui parahu layar dari Padang ke Aceh di kecamatan Labuhan haji.Beliau disambut dengan meriah oleh ahli famili, para teman dan masyarakat, Labuhan Haji. Setelah beberapa hari beliau berada di desanya, maka beliau bertekad membagun sebuah pasantren.
karena tak heran kalau Abu Ibrahim Woyla berada seperti di pasar, misalnya semua pedagang di pasar itu berharap agar Abu Ibrahim Woyla dapat singgah di toko mereka, karena mereka ingin mendapatkan berkah Allah melalui perantaran Abu Ibrahim Woyla. Namun tidak segampang itu karena Abu Ibrahim Woyla punya pilihan sendiri untuk mampir di suatu tempat. Seperti yang diceritakan Tgk Muhammad Kurdi Syam, suatu waktu Abu Ibrahim Woyla sedang berada di Lamno Aceh Jaya lalu bertemu dengan seseorang yang bernama Samsul Bahri yang sedang bekerja di Abah Awe, saat itu kebetulan Abu Ibrahim Woyla membawa dua potong lemang. Ketika mampir di situ Abu Ibrahim Woyla meminta sedikit air, setelah air itu diberikan Samsul lalu Abu Ibrahim Woyla memberikan dua potong lemang tersebut kepada Samsul tapi Samsul menolaknya karena menurut Samsul bahwa lemang tersebut adalah sedekah orang yang diberikan kepada Abu Ibrahim Woyla. karena tidak mau diterima Samsul, lemang itu dibuang Abu Ibrahim Woyla yang tak jauh dari tempat duduknya, spontan saja Samsul tercengang dengan tindakan Abu yang membuang lemang begitu saja, karena merasa bersalah lalu Samsul ingin mengambil lemang yang sudah dibuang tersebut, namun sayang, ketika mau diambil lemang itu hilang secara tiba-tiba.
Dalam kejadian lain, Tgk Nasruddin menceritakan suatu ketika (sebelum Tgk Nasruddin menjadi menantu Abu Ibrahim Woyla), tiba-tiba shubuh pagi Abu Ibrahim Woyla datang ke almamaternya ke Pesantren Syeikh Mahmud, kaki Abu Ibrahim Woyla kelihatan sedikit pincang sebelah kalau beliau berjalan. Kedatangan Abu Ibrahim Woyla disambut Tgk Nasruddin dan teman-teman sepengajian lainnya. Lalu Abu meminta sedikit nasi untuk sarapan pagi, “nasinya ada, tapi tidak ada lauk pauk apa-apa Abu” kata Tgk Nasruddin, “Nggak apa-apa, saya makan pakai telur saja, coba lihat dulu di dapur mungkin masih ada satu telur tersisi” jawab Abu Ibrahim Woyla, lalu Tgk Nasruddin menuju ke dapur, ternyata di tempat yang biasa ia simpan telur terdapat satu butir telur, padahal seingatnya tidak ada sisa telur lagi karena sudah habis dimakan.
Kejadian serupa juga dialami oleh keluarga dekat Abu Ibrahim Woyla sendiri, suatu hari Abu mengunjungi salah seorang saudaranya untuk meminta sedikit nasi dengan lauk sambel udang belimbing, lalu tuan rumah itu mengatakan pada isterinya untuk menyiapkan nasi dengan sambel udang belimbing untuk Abu Ibrahim Woyla, tapi isterinya memberi tahu bahwa pohon belimbingnya tidak lagi berbuah, “baru kemarin sore saya lihat pohon belimbingnya lagi tidak ada buahnya” kata sang isteri pada suuaminya. Tapi suaminya terus mendesak isterinya “coba kamu lihat dulu, kadang ada barang dua tiga buah sudah cukup untuk makan Abu” katanya.lalu isterinya pergi ke pohon belakang rumah, ternyata belimbing itu memang didapatkan tak lebih dari tiga buah di pohon yang kemarin sore dilihatnya.
Demikian pula ketika hendak melangsungkan pernikahan anak pertama Abu Ibrahim Woyla, yaitu Salmiah, msyarakat di kampung melihat sepertinya Abu Ibrahim Woyla tidak pedulu terhadap acara pernikahan anaknya. padahal acara pernikahan itu akan berlangsung beberapa hari lagi, tapi Abu Ibrahim Woyla tidak menyiapkan apa-apa untuk menghadapi acara pernikahan anaknya itu, bahkan uang pun tidak beliau kasih pada keluarga untuk kebutuhan acara tersebut. Namun ajaibnya pada hari “H” (hari pernikahan berlangsung) ternyata acara pernikahan anaknya berlangsung lebih besar dari pesta-pesta pernikahan orang lain yang jauh-jauh hari telah mempersiapkan segala sesuatunya.
Begitulah sebagian dari perjalanan riwayat hidup seorang ulama dan aulia Abu Ibrahim Woyla yang sulit dicari penggantinya di Aceh sekarang ini. Beliau berpulang ke Rahmatullah pada hari sabtu pukul 16.00 WIB tanggal 18 Juli 2009 di rumah anaknya di Pasi Aceh Kecamatan Woyla Induk, Kabupaten Aceh Barat dalam usia 90 tahun. Peneliti LKAS Banda Aceh pernah berziarah ke makan beliau pada bulan April 2010, melihat makan yang dijaga oleh anak tertuanya, banyak sekali diziarahi oleh masyarakat. Namun pihak keluarga sangat hati-hati dan berpesan pada penziarah agar makan Abu Ibrahim Woyla tidak dijadikan tempat pemujaan (yang membawaki kepada syirik).
subhanallah!!!
BalasHapus